
Sejarah Desa Abang Batudinding merupakan cerita yang diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi. Diceritakan bahwa pada awalnya Desa Abang mengalami bencana besar yang menyebabkan sebagian besar penduduk asli Abang mengungsi dan pindah ke Desa Batur. Sebagai akibatnya, mereka kemudian dikenal dengan sebutan Batur Abang.
Setelah kepindahan penduduk Abang ke Desa Batur, wilayah Abang menjadi kosong. Pada masa itu, Desa Abang berada di bawah kekuasaan Dalem Nyalian Klungkung. Raja Dalem Nyalian dikenal gemar berburu, bahkan hingga mencapai wilayah Abang yang terletak di pinggiran Danau Batur, tepatnya di kaki Gunung Abang (yang juga dikenal dengan nama Gunung Tuluk Biyu atau Gunung Kuntuliku). Karena seringnya Raja Dalem Nyalian berburu di daerah tersebut, beliau merasa perlu adanya persiapan untuk keperluan berburu. Maka, beliau mengutus Keluarga Ki Pasek Tangkas Kori Agung dari Desa Tegal Wangi untuk menetap di wilayah Abang dan mengelolanya.
Selanjutnya, dikisahkan bahwa Desa Batudinding yang terletak di wilayah Kubu Karangasem diserang oleh pasukan Panji Sakti dari Buleleng. Dalam pertempuran tersebut, penduduk Batudinding kesulitan menghadapi pasukan Panji Sakti yang terkenal dengan sebutan "Taruna Goak." Akhirnya, mereka terpaksa mengungsi ke Desa Terunyan, bersama dengan sejumlah warga dari desa lain seperti Warga Gelgel, Warga Kayu Selem, Warga Celagi, Warga Pande Den Bencingah, Warga Arya Gajah Para, Warga Dalem Dasar, dan lainnya. Hingga kini, masih terdapat bukti peninggalan bahwa Desa Batudinding pernah menetap di Desa Terunyan, berupa sebuah Bale Agung.
Karena wilayah Desa Batudinding di Terunyan semakin sempit, penduduknya sering berburu hingga ke wilayah Abang yang sudah dihuni oleh Warga Tangkas. Akhirnya, tercapailah kesepakatan antara Warga Tangkas dan Warga Batudinding untuk tinggal bersama di wilayah Abang. Awalnya, Desa Batudinding berada di bawah pemerintahan Desa Terunyan, namun kemudian warga Desa Batudinding mengajukan permohonan kepada Raja untuk diberikan pemerintahan sendiri. Permohonan ini disetujui, dan hal ini tercatat dalam prasasti yang bertahun Isaka 933 atau sekitar tahun 1011 M, yang berbunyi "Swatantra Sewakanya." Ini berarti sejak tahun 1011 M, Desa Abang (atau Airawang) terlepas dari pemerintahan Desa Terunyan.
Pada masa itu, sulit untuk menemukan seorang pemimpin. Oleh karena itu, disepakati untuk mengangkat semeton Gelgel dari Desa Songan sebagai pemimpin. Dengan kepemimpinan yang baru, adat istiadat yang berkembang di wilayah tersebut dipadukan, sehingga muncullah nama Desa Abang Batudinding, yang merupakan gabungan antara Adat Abang dan Adat Batudinding.
Dengan demikian, sejarah Desa Abang Batudinding tidak hanya mencerminkan perjalanan panjang dari bencana, perpindahan, hingga persatuan berbagai kelompok masyarakat, tetapi juga menunjukkan bagaimana adat dan tradisi dapat berpadu dalam kehidupan sehari-hari masyarakat setempat.